Lompat ke isi utama

Berita

Pandangan Islam terhadap Hoaks pada Pemilu

Oleh: Kunjariyanto – Kordiv Penanganan Pelanggaran Bawaslu Jepara

Pemilu merupakan salah satu perwujudan demokrasi. Dalam pemilu terdapat kontestasi/persaingan yang sangat ketat, yang mengharuskan para kontestan (calon presiden/wakil presiden, DPR/DPRD, DPD) mengkampanyekan dirinya,  visi dan misinya agar menjadi pilihan masyarakat. Sengitnya persaingan antar kontestan memunculkan hoaks yang dapat merusak prinsip-prinsip pemilu.

Selama pemilu serentak 2019, Kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan Penyebaran informasi hoaks terkait Pemilu sebanyak 1.645. Realitas ini sangat memprihatinkan karena masyarakat mudah terpengaruh oleh berita hoaks, dan dengan mudah membagikan berita tersebut melalui media sosial tanpa memperdulikan kebenarannya.

Fenomena hoaks bukanlah hal baru, melainkan sudah ada sejak zaman Nabi Adam a.s. dan terus berlanjut hingga masa Nabi Muhammad SAW, bahkan pada masa umat Islam akhir zaman seperti sekarang ini.

Sebagai contoh pada masa Nabi Muhammad SAW. Beliau dan keluarganya pernah menjadi korban hoaks. Ketika istri beliau Sayyidatina Aisyah r.a dituduh selingkuh, dan beritanya tersebar di seantero Madinah. Berita bohong ini menimpa Sayyidatina Aisyah setelah  peperangan dengan Bani Mushtaliq, penyebar berita ini adalah Abdullah bin Ubai bin Salul seorang munafik.

Secara bahasa Hoaks diartikan tipuan, berita bohong, berita palsu, dan kabar burung. Hoaks juga sering diartikan sebagai tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya, dengan cara membanjiri suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi pesan yang benar.

Hoaks  dapat membuat masyarakat merasa tidak aman, tidak nyaman, dan kebingungan. Dalam kebingungan, masyarakat akan mengambil keputusan yang lemah, tidak meyakinkan, dan bahkan condong salah. Dampak negatifnya adalah masyarakat “terbanjiri” dengan berita bohong, ataupun fitnah, yang mendiskreditkan salah satu pihak ataupun golongan,  sehingga dapat memunculkan gesekan maupun konflik di tengah masyarakat.

Dominasi hoaks, muncul dari media sosial (WA, facebook, instagram, twiter, telegram dll) dan media online (produk-produk berita online). Pola penyebaran hoaks di media online dan media sosial yaitu memposting ulang berita, foto atau video yang sudah ada sebelumnya, lalu dihubung-hubungkan dengan kejadian atau peristiwa baru.

UU No 7 Tahun 2017 Pasal 280 ayat 1 huruf (c) dan (d) tentang Pemilihan Umum dengan tegas melarang pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu untuk memproduksi maupun menyebarkan hoaks. Larangan tersebut adalah (c) menghina seseorang, agama,  suku,  ras,  golongan,  calon,  dan/atau  peserta  pemilu  yang  lain. Dan (d) menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.

Lalu apa sanksinya jika melanggar? Jika ketentuan diatas dilanggar maka akan di dipidana dengan pidana penjara paling  lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah). Sebagaimana pasal 521 UU No 7 Tahun 2017.

UU No 11 Tahun 2008 sebagaimana diubah UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan tegas melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana Pasal 27 ayat (3)

Sedangkan Pasal 28 ayat 1  melarang setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.

Bagi yang melanggar ketentuan larangan di atas pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sebagaimana tertuang pada pasal 45 ayat 1 dan 2.

Pandangan islam terhadap hoaks

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berlomba-lomba dalam kebajikan, serta tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Sebagaimana Surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya, "Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa Nya".

Hoaks yang diartikan sebagai berita bohong, yang condong pada fitnah, mempunyai dampak negatif yang begitu masif karena merugikan orang lain maupun umat, serta dapat menyebabkan gesekan ataupun konflik di tengah masyarakat.

Islam melarang kepada umatnya agar tidak membuat maupun menyebarkan hoaks, sebagaimana yang disebutkan dalam surat al-hujarat  ayat 12, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Jika kita mendapati seseorang yang membawa suatu kabar, apalagi orang tersebut fasik, maka kita harus meneliti kebenarannya sebagaimana diungkapkan pada al hujarat  ayat 6, yang artinya  “Wahai orang-orang yang beriman, Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita,  maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan yang akhirnya kamu menyesali perbuatan itu.”

Produsen hoaks dapat dikategorikan seorang munafik sebagaimana Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori yang artinya “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari, dan jika diberi amanah dia berkhianat”

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Islam melarang pada umatnya membuat maupun menyebarkan hoaks, karena hoaks merupakan salah satu perilaku dari orang munafik.

 
Tag
Artikel