Lompat ke isi utama

Berita

Mengapa Sih Melibatkan Milenial dalam Pengawasan Partisipatif Pemilu?

Apakah anda termasuk milenial, ataukah anda mempunyai anak yang masih tergolong milenial? Saya percaya anda termasuk dalam salah satu pertanyaan di atas. Perlu diketahui generasi milenial itu apa sih? Untuk mengetahui siapakah generasi milenial diperlukan kajian literatur dari berbagai sumber yang merupakan pendapat beberapa peneliti berdasarkan rentang tahun kelahiran. Istilah milenial pertama kali dicetuskan oleh William Strauss dan Neil dalam bukunya yang berjudul Millennials Rising: The Next Great Generation (2000). Mereka menciptakan istilah ini tahun 1987, yaitu pada saat anak-anak yang lahir pada tahun 1982 masuk pra-sekolah. Saat itu media mulai menyebut sebagai kelompok yang terhubung ke milenium baru di saat lulus SMA di tahun 2000. Pendapat lain menurut Elwood Carlson dalam bukunya yang berjudul The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom (2008), generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 1983 sampai dengan 2001. Jika didasarkan pada Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl Mannheim pada tahun 1923, generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Generasi milenial juga disebut sebagai generasi Y. Istilah ini mulai dikenal dan dipakai pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993.

Pada penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, terdapat delapan puluh juta pemilih milenial yang berusia 17-35 tahun dari jumlah pemilih secara keseluruhan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang berjumlah 192.828.520 pemilih. Jika dibuat persentase jumlah pemilih milenial dari jumlah pemilih secara keseluruhan, didapatkan bahwa 41,48% dari jumlah pemilih secara keseluruhan merupakan pemilih milenial. Angka ini menunjukkan bahwa jumlah pemilih milenial tergolong signifikan dalam Pemilu 2019. Suara yang signifikan tersebut sangat disayangkan jika tidak di edukasi secara baik dalam memilih pemimpin Indonesia karena 5 tahun kedepan pemimpin tersebutlah yang menentukan arah Indonesia.

Edukasi yang seperti apa yang membuat milenial melek politik dan siapa yang berwenang mengedukasinya? Tak semua milenial mengetahui jajaran penyelenggara Pemilu, yang salah satunya Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Dari kuesioner yang saya buat dengan koresponden sejumlah 80 korespnden dari kaum milenial, menunjukan bahwa masih banyak yang belum mengetahui apa itu Bawaslu dan apa tugas dan kewajibannya. Selanjutnya, bagaimana bisa Bawaslu mengedukasi milenial sedangkan tidak mengetahui apa itu Bawaslu sendiri dan ini merupakan cambuk bagi Bawaslu, selain mensukseskan penyelenggaraan Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) dan Jujur, dan Adil (Jurdil) Bawaslu juga berhak dan berwenang memberikan pendidikan politik kepada milenial. Tapi dengan cara apa, Bawaslu mengedukasi milenial tersebut “yang sudah kerepotan mengawasi tahapan Pemilu mulai dari pemutakhiran data pemilih sampai dengan pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara?”. Saya kira di era globalisasi saat ini banyak sekali cara yang dapat dilakukan Bawaslu untuk mengedukasi milenial agar melek politik dan Bawaslu juga dapat memaksimalkan peran milenial untuk menjadi sahabat Bawaslu untuk menjadi pengawas partisipatif Pemilu.

Adapun cara yang sebaiknya dilakukan Bawaslu. Pertama, dengan membuat kegiatan yang bisa melibatkan mereka untuk menuangkan gagasan dan pandangan mereka mengenai pengawasan pemilu dan penanganan pelanggaran dalam bentuk gambar, video pendek, karya tulis, dan aplikasi digital lainnya. Kedua, menjadi pelapor dan pengawasan aktif pelanggaran pemilu di media sosial. Karena mereka boleh dikata beraktivitas sehari-hari dengan media sosial, maka mereka bisa langsung menjadi pelapor pelanggaran sekaligus berani menolak aksi money politic atau setidaknya sebagai informasi awal bagi Bawaslu. Selain itu generasi milenial ini juga bisa memantau dan mengawasi adanya kampanye-kampanye yang melanggar melalui media sosial termasuk dalam kategori ujaran atau berita hoax yang dilakukan tim atau peserta pemilu. Maka dari itu Bawaslu harus mampu meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya (SDM) baik di komisionernya maupun di sekretariat, agar mampu mengusai teknologi informasi khususnya berkaitan dengan teknologi informasi.

Selain membuka ruang yang sebesar-besarnya melalui media sosial terkait pengawasan partisipatif oleh milenial Bawaslu juga dapat melakukan berbagai kegiatan secara langsung yaitu, Bawaslu go to school/campus dengan sekaligus membentuk agen milenial Bawaslu. Dengan cara tersebut diharapkan agar milenial dapat berperan aktif dalam pengawasan partisipatif Pemilu sehingga dapat melahirkan pemimpin yang amanah dan mensejahterakan rakyat sehingga dapat mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur.

(Yanu Adhi Hidayat/Staf Organisasi dan SDM)

Tag
Artikel