Lompat ke isi utama

Berita

Money Politic Penjerat Kemajuan Negara

Oleh : Asep Rojudin (Alumni Peserta SKPP daring 2020 Bawaslu Jepara)

Pemilu yang terselenggara secara langsung, jujur dan adil adalah syarat mutlak untuk melahirkan wakil rakyat yang berkualitas, berkompeten, dapat dipercaya dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Sejalan dengan diselenggarakannya Pemilu, kegiatan kampanye mutlak harus menjadi bagian dari rangkaian proses tersebut, karena kampanye merupakan salah satu prosedur yang harus dilalui untuk bisa diadakannya sebuah Pemilu.

Setiap kali diadakan Pemilu di Indonesia, selalu terjadi tindak pidana pelanggaran Pemilu khususnya pelanggaran kampanye atau melanggar aturan kampanye yang dilakukan oleh beberapa partai politik atau calon anggota legislatif. Walaupun peraturan perundang-undangan dengan tegas melarang perbuatan yang digolongkan ke dalam perbuatan tindak pidana kampanye. Contoh pelanggaran kampanye adalah money politic.

Money Politic ialah suatu cara memberikan sejumlah uang kepada rakyat dengan harapan agar rakyat memilih mereka, hal tersebut merupakan suatu penyimpangan dari nilai-nilai demokrasi. Maka money politic benar-benar telah merusak esensi dari demokrasi itu sendiri. Pada umumnya calon legislatif DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi DPD dan maupun DPR-RI mempunyai sistem atau metode kampanye yang hampir serupa yaitu dengan sistem money politic atau yang sering disebut dengan politik uang.

Misalnya saja di daerah kabupaten/kota money politic terlihat sangat kontras, para kandidat langsung membeli suara dari masyarakat dengan cara membagi-bagikan sejumlah uang tunai yang nominalnya hingga ratusan ribu rupiah untuk per orangnya. Dalam situasi di atas, rakyat sebagai konstituen bisa memiliki harga tawar yang cukup tinggi. Pertarungan para caleg untuk mendapatkan dan memiliki suara rakyat. Namun tidak sedikit pula masyarakat yang mulai berfikir secara rasional, yaitu memanfaatkan mereka dengan cara tetap menerima uang dari para calon kepala daerah atau calon legislatif kemudian masyarakat akhirnya tidak memilih mereka ketika waktu pencoblosan di TPS.

Pelanggaran politik uang telah terjadi berulang kali dan sudah seperti menjadi budaya dalam setiap periode Pemilu. Jika hal seperti ini terus dibiarkan, maka cita-cita untuk mendapatkan pemimpin yang jujur, adil berintegritas dan bekerja untuk rakyat akan sulit dicapai karena pemimpin-pemimpin yang dipilih dari hasil membeli suara dan lahir dengan cara-cara yang tidak dibenarkan. Hal ini tentu berdampak pada tatanan demokrasi yang sedang dibangun oleh pemerintah. Kondisi ini menimbulkan penilaian bahwa penyelenggara dikhawatirkan akan banyak terpengaruh oleh kepentingan tertentu, sehingga akan menghambat pengembangan nilai demokrasi, asas jujur dan adil. (Muchtar, 1999).

Dampak dari money politic ini membuat kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat kecil. Kita ambil contoh dari kejadian yang belum lama ini, yakni pengesahan Omnibus Law tentang Undang-Undang Cipta Kerja. Kebijakan tersebut memiliki banyak kontroversi dari berbagai aspek, sehingga banyak aksi penolakan yang terjadi di kalangan masyarakat umum. Tidak hanya dalam penetapan kebijakan yang sering dipesan atau menimbulkan keresahan, kejadian serupa nyatanya terlihat dalam kancah pejabat layanan publik.

Hasil dari semua kejadian itu dapat menjerat kemajuan Negara. Mengapa demikian? Menurut Dr. Triantoro Safari Dosen Universitas Ahmad Dahlan Semarang dalam sebuah artikelnya menyebutkan salah satu faktor penghambat dari kemajuan Negara adalah berkurangnya integritas dari pejabat publik, ini bisa diperparah dengan membudayanya money politic.

Maka dari itu untuk mensukseskan tujuan Negara seperti apa yang di cita-citakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia 1945, yakni “memajukan kesejahteraan umum” dapat terwujud apabila, para pemimpin dan rakyat sama-sama menyadari imbas dari money politic yang dapat merusak tingkat kemajuan sebuah Negara jika dilihat dari aspek sumber daya manusia.

Tag
Artikel